Kisah Sukses Liem Sioe Liong
Selain itu bersama Djuhar Sutanto, Sudwikatmono dan Ibrahim Risjad (dikenal dengan The Gangs of Four) mendirikan sebuah perusahaan tepung terigu terbesar di Indonesia yaitu, PT Bogasari Flour Mill. Pada saat kerusuhan melanda Jakarta tahun 1998, rumahnya yang berada di Gunung Sahari, Jakarta Pusat, menjadi korban pengerusakan dan penjarahan. Setelah peristiwa tersebut, ia mulai mengalihkan kepengurusan bisnisnya kepada anaknya Anthony Salim, lalu pindah dan tinggal di Singapura hingga tutup usia. Ia dikenal luas masyarakat dekat dengan mantan Presiden ke-2 Indonesia Soeharto. Usahanya diteruskan anaknya yakni Anthony Salim dan menantunya Franciscus Welirang. Sudono Salim atau yang lebih dikenal sebagai Lim Soei Liong, taipan papan atas Indonesia telah berpulang di Singapura, Minggu (10/2). Pengusaha yang di masa penguasa Orde Baru, Presiden Soeharto, akrab disapa Om Liem itu meninggal karena sakit tua. Hal itu diungkapkan Franciscus Welirang, Direktur PT Indofood Sukses Makmur Tbk yang juga menantu Lim Soei Liong.
Pengusaha Sofyan Wanandi juga mengungkapkan itu, karena selama setahun terakhir Om Liem terbaring sakit dan menjalani perawatan di Singapura. Om Liem meninggalkan tiga putra dan satu putri. Om Liem lahir di Fuqing, Fujian, China. Terlahir sebagai anak kedua dari seorang petani. Pada tahun 1938, dia memutuskan merantau menyusul sang kakak Liem Sioe Hie ke Indonesia. Dari bawah dia merintis jejaring bisnis hingga memunculkan namanya sebagai orang terkaya di Indonesia. Usaha bisnisnya yang tetap bersinar hingga kini yakni BCA dan Indofood. Liem Sioe Liong yang mulai mengenal Indonesia pada usia 20 tahun, kurang lebih 45 tahun lalu, mengatakan, Anda harus dilahirkan di tempat dan waktu yang benar. Dan, Anthony Salim putranya yang bernama kelahiran Liem Fung Seng -, ikut berkomentar kepada majalah yang sama, Jika anda ingin menangkap seekor ikan, pertama-tama anda harus membeli umpan. Kalimat pendek yang cenderung merupakan ungkapan dalam sastra Indonesia itu, sebenarnya gambaran prinsip mereka berdagang di Indonesia sampai merembes ke kancah Internasional.
Dengan grup yang ia pimpin, Soedono Liem Salim yang bermula bersama kakaknya: Liem Sioe Hie, membantu paman mereka berdagang minyak kacang di Kudus-Jawa Tengah, anak kedua dari tiga bersaudara ini bisa menggaji 25 ribu tenaga kerja. Dari Eksekutif Senior sampai sopir truk yang jumlahnya tak kurang dari 3000 armada termasuk pengangkut semen perusahaan Liem Cs. Terkaya di Indonesia, memiliki 40 perusahaan, Liem Sioe Liong dengan para kamradnya menghasilkan omset bisnis tak kurang dari US$ 1 milyar setahun. Konon kekayaan pribadi Liem sendiri, ada yang menyebutkan, sekitar US$ 1,9 milyar = Rp. 1,2 triliun.
Di kalangan pedagang Tionghoa Indonesia dia terkenal dengan sebutan Liem botak. Sejarah orang bernama Liem Sioe Liong (60 tahun) dimulai di sebuah pelabuhan kecil. Fukien di bilangan Selatan Benua Tiongkok. Dia dilahirkan di situ pada tahun 1918. Kakaknya yang tertua Liem Sioe Hie kini berusia 77 tahun sejak tahun 1922 telah lebih dulu beremigrasi ke Indonesia yang waktu itu masih jajahan Belanda kerja di sebuah perusahaan pamannya di kota Kudus. Di tengah hiruk pikuknya usaha ekspansi Jepang ke Pasifik, dibarengi dengan dongeng harta karun kerajaan-kerajaan Eropa di Asia Tenggara, maka pada tahun 1939, Liem Sioe Liong mengikuti jejak abangnya yang tertua. Dari Fukien, ia Berangkat ke Amoy, dimana bersandar sebuah kapal dagang Belanda yang membawanya menyeberangi Laut Tiongkok. Sebulan untuk kemudian sampai di Indonesia. Sejak dulu, kota Kudus sudah terkenal sebagai pusat pabrik rokok kretek, yang sangat banyak membutuhkan bahan baku tembakau dan cengkeh. Dan sejak jamam revolusi Liem Sioe Liong sudah terlatih menjadi supplier cengkeh, dengan jalan menyelundupkan bahan baku tersebut dari Maluku, Sumatera, Sulawesi Utara melalui Singapura untuk kemudian melalui jalur-jalur khusus penyelundupan menuju Kudus.
Sehingga tidak heran dagang cengkeh merupakan salah satu pilar utama bisnis Liem Sioe Liong pertama sekali, disamping sektor tekstil. Dulu juga dia, banyak mengimpor produksi pabrik tekstil murahan dari Shanghai. Untuk melicinkan semua usahanya dibidang keuangan, dia punya beberapa buah bank seperti Bank Windu Kencana dan Bank Central Asia. Di tahun 1970-an Bank Central Asia ini telah bertumbuh menjadi bank swasta kedua terbesar di Indonesia dengan total asset sebesar US$ 99 juta. Salah satu peluang besar yang diperoleh Liem Sioe Liong dari Pemerintah Indonesia adalah dengan didirikannya PT. Bogasari pada bulan Mei 1969 yang memonopoli suplai tepung terigu untuk Indonesia bagian Barat, yang meliputi sekitar 2/3 penduduk Indonesia, di samping PT. Prima untuk Indonesia bagian Timur.
Hampir di setiap perusahaan Liem Sioe Liong dia berkongsi dengan Djuhar Sutanto alias Lin Wen Chiang yang juga seorang Tionghoa asal Fukien. Bogasari sebuah perusahaan swasta yang paling unik di Indonesia. Barangkali hanya Bogasarilah yang diberikan pemerintah fasilitas punya pelabuhan sendiri, dan kapal-kapal raksasa dalam hubungan perteriguan bisa langsung merapat ke pabrik. Begitu perkasanya dia di bidang perekonomian Indonesia dewasa ini, mungkin menjadi titik tolak majalah Insight, Asia Business Mountly terbitan Hongkong dalam penerbitan bulan Mei tahun ini, menampilkan lukisan karikatural Liem Sioe Liong berpakaian gaya Napoleon Bonaparte. Dadanya penuh ditempeli lencana-lencana perusahaannya. Perusahaan holding company-nya bernama PT Salim Economic Development Corporation punya berbagai macam kegiatan yang dibagi-bagi atas berbagai jenis divisi; masing-masing adalah: divisi perdagangan divisi industri divisi bank dan asuransi divisi pengembangan (yang bergerak dibidang hasil hutan dan konsesi hutan) divisi properti yang bergerak dibidang real estate, perhotelan, dan pemborong divisi perdagangan eceran divisi joint venture.
Setiap divisi membawahi beberapa arah perusahaan raksasa, berbentuk perseroan-perseroan terbatas. Pelbagai kemungkinan untuk lebih mengembangkan lajunya perusahaan sekalipun tidak akan meningkatkan permodalan, seperti go-public di pasar saham Jakarta, - dilangsungkan group Soedono Lem Salim dengan gencar. Halangan maupun isu bisnis yang mengancam perusahaannya, nampak tak membuat Liem cemas. Seperti katanya kepada Review, Jika anda hanya mendengarkan apa yang dikatakan orang, anda akan gila. Anda harus melakukan apa yang anda yakini. Bermodal kalimat pendeknya itu pulalah mengantar Liem Sioe Liong muda di Kudus yang juga terkenal sebagai Lin Shao Liang menjadi Soedono Salim si Raja Dagang Indonesia, belakangan ini. Anak Petani yang Sukses Bangun Kerajaan Bisnis Kabar duka menyelimuti Salim Group.
Pendiri salah satu kerajaan bisnis terbesar di Indonesia itu, Sudono Salim atau yang lebih dikenal dengan nama Liem Sioe Liong mengembuskan napas terakhirnya dalam usia 95 tahun di Singapura, Minggu (10/6) sekitar pukul 15.50 waktu setempat. Cerita sukses Liem Sioe Liong adalah cerita keberhasilan membangun kerajaan bisnis yang luar biasa. Tanpa disadari, almarhum bisa mengubah pola makan rakyat Indonesia. Kebiasaan melalap beras perlahan tapi pasti mulai digantikan dengan mi instan. Mi instan yang kini menjamur di warung punggir jalan sudah seperti makanan pokok kedua sebagian rakyat di negeri ini. Itu hanya satu cerita sukses almarhum. Belum lagi di industri semen, rokok, hingga dunia perbankan.
Karena itulah tidak salah jika majalah Forbes pada 2004 masih menempatkan Liem Sioe Liong sebagai orang terkaya ke-25 dari Asia Tenggara dengan nilai kekayaan mencapai US$ 655 miliar. Di mata orang yang pernah dekat dengannya, Sudono Salim meninggalkan banyak kenangan. Philip Suwardi Purnama, misalnya, yang saat ini menjabat Presiden Direktur Integra Mining Group. Semasa Philip menjadi direktur di PT Indofood Sukses Makmur Tbk dan Chief Commercial Officer di Bogasari Flour Mills, Om Liem tidak hanya memosisikan diri sebagai pemimpin atau pemilik perusahaan, melainkan juga sebagai guru dan sahabat yang baik. "Om Liem memiliki pendekatan yang unik dan baik kepada rekan bisnis maupun karyawannya. Tak hanya itu, pemikirannya juga jauh ke depan dan tak canggung memberikan motivasi dan mengajarkan kepada kita untuk berpikiran ke depan," kata Philip.
Hal yang membuat alumnus Harvard Business School ini tidak akan melupakan sosok Om Liem adalah ketika pernikahannya dulu. Di tengah supersibuknya, almarhum menyempatkan datang ke resepsi pernikahannya. "Saya merasa sangat dihargai sama beliau, padahal saya waktu itu hanya staf. Namun beliau datang dan memberikan doanya buat pernikahan kami," tutur dia.
Jaringan Bisnis Liem Sioe Liong lahir 16 Juli 1916 di Fuqing, Fujian, China. Ia menikahi Lie Las Nio (Lilani) dan memiliki empat anak, masing-masing Albert, Andre Halim, Anthony Salim, dan Mira. Majalah Forbes menyebutkan bahwa Liem Sioe Liong pernah menghabiskan uangnya sebesar US$ 350.000 atau setara Rp 3,1 miliar hanya untuk merayakan ulang tahun perkawinannya yang ke-60 (pada 2004) dengan menggelar perayaan selama dua hari dan mengundang 2.000 tamu. Lim Sioe Liong sejak 1992 menyatakan pensiun dari aktivitas bisnisnya. Dia mempercayakan seluruh kerajaan bisnis Salim Group yang dirintisnya sejak 1936 di Indonesia kepada sang putra, Anthony Salim. Menilik sejarahnya, Liem Sioe Liong tidak berasal dari keluarga kaya. Dia hanya anak seorang petani dari Desa Fuqing, China, yang sukses merantau ke Indonesia.
Kekacauan politik di China pada 1938, membulatkan tekad Liem untuk meninggalkan tanah kelahirannya tersebut. Dia mengarungi Laut China untuk menyusul sang kakak, Liem Sioe Hie yang sudah lebih dahulu menetap di Indonesia. Menggunakan perahu kecil, dia berhasil mendarat di Medan, Sumatera Utara (Sumur). Dia berharap kakaknya akan menjemputnya. Sayangnya harapan itu tidak sepenuhnya berjalan mulus. Sampai empat hari dia menunggu karena pihak Imigrasi tidak meloloskan Liem ke luar dari wilayah pelabuhan. Selama itulah Liem kecil tidak makan. Bersama sang kakak, Liem Sioe Hie dan saudara tirinya, Zheng Xusheng, Liem Sioe Liong juga pernah memulai bisnisnya di Medan, dengan berdagang minyak kacang. Melihat potensi pasar rokok keretek di Indonesia yang cukup menggiurkan, Liem Sioe Liong kemudian melebarkan sayap bisnisnya ke komoditas cengkih yang merupakan bahan baku produksi rokok keretek.
Sewaktu masa revolusi kemerdekaan berkecamuk, Liem Sioe Liong yang tinggal di Medan dikabarkan selalu memberikan pasokan medis untuk Tentara Nasional Indonesia (TNI) di mana Soeharto merupakan salah satu perwiranya. Belakangan ia membantah kalau kerajaan bisnis yang dibangunnya tersebut dikaitkan karena kedekatannya dengan Soeharto yang akhirnya menjadi Presiden RI yang berkuasa selama 32 tahun. Liem Sioe Liong mengungkapkan bahwa kekayaan yang menjadi modal untuk membangun kerajaan bisnisnya di Indonesia diperoleh dari hasil monopoli pasar cengkeh setelah masa penjajahan Belanda di Tanah Air berakhir. Kejelian serta naluri bisnis yang dimiliki Liem Sioe Liong memang tidak pernah ada habisnya. Setelah menguasai pasar cengkeh, membangun pabrik sabun, ia kemudian melebarkan sayap bisnisnya ke sektor industri tekstil dan perbankan. Bahkan Liem Sioe Liong tercatat sebagai pendiri bank swasta terbesar di Indonesia, yakni Bank Central Asia (BCA). Tidak berhenti sampai di situ, dia juga sukses membangun pabrik tepung terigu terbesar di Indonesia yang bernama Bogasari.
Pabrik Bogasari di Tanjung Priok, Jakarta Utara, mulai beroperasi pada 29 November 1971. Setahun kemudian, tepatnya pada 10 Juli 1972 dilakukan peresmian pabrik Bogasari di Tanjung Perak, Surabaya, Jawa Timur.
Saat ini Bogasari memiliki dua pabrik yang berlokasi di Jakarta dan Surabaya dengan total kapasitas produksi tepung sebesar 3,2 juta ton per tahun. Dari keuntungan BCA dan Bogasari, Liem Sioe Liong mengantungi modal yang besar untuk membangun pabrik Indocement yang sempat menjadi raksasa semen di Indonesia. Melihat usahanya di bidang makanan terus berkembang pesat, pada 1990, Liem Sioe Liong kemudian mendirikan Indofood yang menjadi salah satu mesin uang bagi Salim Group. Saat ini Indofood mengoperasikan empat kelompok usaha strategis (grup) yang saling melengkapi, yakni produk konsumen bermerek Bogasari, agribisnis, dan distribusi. Di sektor agribisnis, kegiatan usaha grup ini dijalankan oleh PT Salim Ivomas Pratama Tbk dan PT PP London Sumatra Indonesia Tbk, keduanya tercatat di Bursa Efek Indonesia serta merupakan anak perusahaan Indofood Agri Resources Ltd yang tercatat di Bursa Efek Singapura.
Seperti pengusaha lainnya, Liem Sioe Liong juga pernah mengalami masa sulit dalam bisnis. Hal itu terjadi pada 1997 ketika krisis moneter melanda Indonesia. Ia dikabarkan memiliki utang hingga US$ 4,8 miliar. Usai kerusuhan Mei 1998, Liem Sioe Liong lebih memilih menetap di Singapura. Massa membakar rumah di Medan dan di Jalan Gunung Sahari, Jakarta Pusat. Massa bahkan sempat menjarah rumahnya dan membakar foto lukisan Lim Sioe Liong. Sebelum krisis moneter 1997, Salim Group tercatat memiliki aset senilai US$ 20 miliar dan memiliki jaringan bisnis sebanyak 500 perusahaan yang mempekerjakan lebih dari 200.000 orang di Indonesia.
0 Response to "Kisah Sukses Liem Sioe Liong"
Posting Komentar